Story From Us

29 Jan

Sepenggal Cerita di Rumah Sawomateng

Siswanto dan Galuh


Kebanyakan keluarga menghabiskan liburan di akhir pekan. Tapi itu tidak berlaku bagi kami, yang sama-sama bekerja di media. Hari libur kami biasanya malah berada di tengah minggu. Keuntungannya adalah bisa mendapatkan suasana lebih sepi di tempat yang dituju karena bukan peak season. Nah, bila hari libur tiba, pertanyaan yang muncul pastilah “Mau kemana nih?”. Cuaca Jakarta dan sekitarnya yang tidak pernah absen dari hujan memunculkan ide baru. “Kita menginap di sini aja yok,” itu isi pesan singkatku disertai tautan website homestay ke istri.

Namanya adalah Rumah Sawomateng. Memasuki Jalan Menteng, Beji, Depok, Jawa Barat, bangunan homestay ini langsung dengan mudah dikenali. Bangunan dengan konsep rumah khas Betawi dengan material mayoritas dari kayu dan batu-bata – mengutip istilah dari ownernya– seperti membunuh lingkungan sekitar.

Terletak di kawasan pemukiman, dengan berbekal GPS driver Grab Car yang kami tumpangi dapat dengan mudah mencapainya. Setelah turun dari mobil, di depan rumah Sawomateng, sapaan hangat kami terima langsung dari sang owner, Bang JJ Rizal.

Suara gemericik air dari ikan-ikan yang bermain di kolam depan menghipnotis kami. Beberapa langkah masuk menjauh dari pagar, rasanya seperti bukan berada di area sub-urban Jakarta. Kolam ikan ternyata mengelilingi bangunan rumah. Istilah Bang JJ Rizal untuk menyebut hal itu adalah tawaf. Kolam ini sekaligus menjadi tempat parkir air hujan. Jadi dikonsep supaya air hujan tidak langsung masuk ke got dan terbuang, tetapi ditampung lebih dahulu di kolam. Nama kolam ikan ini adalah kolam Ajip Rosidi.

Sebelumnya istri saya sudah mencari tahu tentang Rumah Sawomateng dengan menghubungi adminnya. Ya, ada banyak pertimbangan untuk memutuskan jadi menginap di homestay ini, mengingat kami punya anak berusia kurang dari 2 tahun. Singkat kata, kami memilih kamar bernama sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang terletak di lantai dua.

Kami langsung naik ke sana dengan di antarkan langsung oleh Bang JJ Rizal. Setelah membukakan pintu kamar, beliau turun lagi. Saya pikir, Bang JJ Rizal langsung pergi dan melanjutkan aktivitas. Rupanya dia kembali lagi ke lantai dua dengan membawa nampan berisi air putih dan bir pletok. Welcome drink yang tidak biasa. Bir pletok merupakan minuman segar yang dibikin dari campuran beberapa rempah, di antaranya jahe. “Silakan,” kata Bang JJ Rizal.

Di dinding kamar terdapat poster peluncuran buku Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi. Di sisi sebelahnya juga terpajang poster cover dengan Bahasa Belanda: Bericht Uit Kebayoran. Jadi, kamar ini semacam museum mini. Di dalamnya terdapat benda-benda yang ada kaitan dengan tokoh yang menjadi nama kamar. Benda di dalam yang menarik lagi adalah mesin ketik merek Olympia. Kata Bang JJ Rizal, mesin ketik ini dulu pernah dipakai Pramoedya Ananta Toer.

Satu lagi yang menarik adalah ranjang kayu di dalam kamar itu. Ternyata itu ranjang yang dipakai Bang JJ Rizal sewaktu masih kecil. Bang JJ Rizal sempat kaget saat menerima kabar tamu yang akan menginap meminta kasur tambahan. Ukuran kamar di homestay ini tidak luas dan memang didesain untuk single. Dasar saja kami ini nekad untuk memberi Gandhi, anak kami, pengalaman baru. Maka jadilah hadir 1 kasur tambahan di dalam kamar yang hanya bisa direbahkan saat mau tidur.

Istri saya sempat mengutarakan kegalauannya saat akan memilih kamar mana yang akan kami booking. Tapi sungguh pilihan yang tepat, kamar Pramoedya Ananta Toer ini ternyata letaknya menghadap halaman belakang bagian Rumah Sawomateng. Rasa privacy lebih terasa karena pintu balkon kamar bisa dibuka lebar menikmati tembok yang dipenuhi tumbuhan hijau.

Bang JJ Rizal bercerita tentang sejarah singkat homestay bergaya arsitektur rumah tropis Betawi yang dikelolanya. Mulai dari nama-nama kamar yang memang dikonsep untuk mengoneksikan tamu dengan tokoh, material bangunan, ikan-ikan di kolam yang merupakan ikan khas zaman dulu, hingga tanaman yang tumbuh di depan dan belakang rumah. Sementara anak saya sudah menarik ibunya untuk melihat ikan-ikan lebih dekat di kolam bawah.

Selain kamar bernama Pramoedya Ananta Toer, di sana ada kamar Sukarno, Onghokham, Toeti Heraty, Julia Suryakusuma hingga Adrian B. Lapian. Unik sekali.

Rumah Sawo Mateng terletak tak jauh dari rumah Bang JJ Rizal yang juga sekaligus dijadikan kantor Komunitas Bambu. Komunitas Bambu dengan koleksi buku-buku sejarah merupakan salah satu alasan kami menginap di Rumah Sawomateng. Sementara Istri saya yang lulusan Arsitektur jelas tertarik karena desain rumahnya. Dan alasan lainnya, tentu saja mengenalkan liburan dengan gaya berbeda ke anak.

Sore itu, setelah berbersih kami bertiga jalan kaki ke Komunitas Bambu. Jaraknya sekitar 700 meter dari homestay. Konsep bangunan Komunitas Bambu masih punya nafas yang sama dengan Rumah Sawomateng.

Inilah surganya buku bagi para peminat sejarah. Kebetulan ketika kami ke sana, sedang berlangsung obral dengan diskon besar-besaran. Untuk membelinya bisa datang langsung, bisa juga pesan lewat Whatsapp atau online shop.

Selesai membeli buku, kami kembali ke penginapan. Saat malam tiba, suasana tenang semakin terasa. Rumah Sawomateng memiliki desain pencahayaan dan penghawaan alami. Meski tanpa AC, tetapi udara di sana tidak panas. Malam itu, kami dikirim seteko air panas. Kata Wahyu, itu diberi sama Bang JJ Rizal. Wahyu adalah tetangga kamar kami. Calon master jurusan hukum Universitas Indonesia ini sudah sekitar sebulan tinggal di homestay.

Kopi Liong dan Sayonara Rumah Sawomateng

Semalam udara sejuk konsisten menemani mimpi indah kami. Pagi hari, cahaya matahari malu-malu menyelinap di balik ulos yang dipasang sebagai tirai kamar. Gandhi masih pulas tertidur saat istri saya bertanya, “Mau ngopi apa ngeteh, Mas?”. Nampaknya pagi itu pesan singkat diterima istri menanyakan menu sarapan dan minum apa yang dipilih. Jawaban saya jelas kopi lah.

Tak berapa lama suara Mpok Ati terdengar memanggil. Mengatakan sarapan sudah siap. Mpok Ati adalah orang yang berjasa untuk membantu kami selama berada di homestay. Pagi itu, Bang JJ Rizal rupanya menyempatkan waktu untuk menemani kami sarapan pagi. Di ruang makan sekaligus dapur di area depan, sudah tersedia nasi goreng dan bihun goreng yang lengkap dengan semur daging juga balado ikan gabus asin. Wah, dari tampilannya saja saya sudah yakin kalau sarapan kali ini super lezat. Oiya, masing-masing menu juga dilengkapi kerupuk. Di tengah meja terdapat teko berisi teh panas dan secangkir kopi Liong yang sudah diseduhkan istri.

 

Bang JJ Rizal mengajak anak saya untuk memberi makan ikan sambil bercerita tentang berbagai jenis ikan yang dipelihara. Ada ikan melem, gabus males, sepat siam, betok, baung lilin, hampal, sili, gurame, berot, tawes ijo. Itu ikan langka semua sekarang.

Anak saya senang saja disuruh melemparkan pakan ke kolam. Dia tertawa-tawa melihat ikan berebut makanan yang lepas dari tangannya.

Sambil mengawasi bocah, saya senang mendengarkan cerita-cerita tempo dulu yang diungkapkan Bang JJ Rizal. Misalnya bagaimana cara mencari bibit ikan langka itu sekaligus merawatnya, bagaimana mencari tanaman-tanaman, juga material kayu sekaligus merawatnya agar terhindar dari rayap, termasuk ubin bekas dari Bandung.

Oiya Rumah Sawomateng ini dibangun dengan material yang mayoritas sisa bangunan bersejarah yang menjadi korban vandalism. Ubin klasik, teralis gaya tempo dulu, kusen-kusen jendela dan daun pintu, semuanya membawa kesan hangat. Semua menjadi saksi bisu kenangan di masa lampau dan hadir lagi menemani percakapan topik sejarah antara saya dan Bang JJ Rizal.

To renew old memories, begitu konsep Rumah Sawomateng yang berhasil disampaikan lewat desain tata ruang hingga pemilihan interiornya. Satu malam yang sangat berkesan. Rasanya tulisan ini pun tak cukup menggambarkan. Mengutip pernyataan istri saya pada temannya yang berkomentar di postingan Instagramnya “Susah dijelasin deh, mendingan kamu cobain sendiri ke Rumah Sawomateng.”

 



Siswanto dan Galuh Parantri, bekerja sebagai jurnalis di Jakarta

Leave a Reply

error: Content is protected !!